Tai Ciung

  • Bagikan
Sumber: dapoeryuyu.com

Ayahku tengah larut dalam ritual kenikmatannya bersama segelas kopi. Ia duduk di balai bambu sembari mendengar berita dari siaran Radio Republik Indonesia (RRI). Aku yang baru tiba dari sekolah, langsung mengambil sepiring penganan makan siang dan duduk di sisi ayahku. Di sela-sela siaran berita itu, terdengar beberapa iklan. Yang kerap kami dengar dari beberapa stasiun radio adalah iklan Coto Mangkasara’ asuhan Daeng Sangkala. Saat mendengar iklan itulah, ayahku berkata, “Hari Minggu nanti, kita makan coto ya,” sembari menatapku dengan tersenyum. Menyebut coto, aku melambung bersamaan Ellya Kadam yang menyenandungkan “Boneka dari India”. Ya, coto adalah makanan favoritku.

Esoknya, sekitar pukul sepuluh hari Minggu pagi, aku dan ayah mengendarai sepeda Sim King menuju warung coto di Jalan Ranggong Daeng Romo. Ketika kami sampai, segera saja tercium aroma yang mengepul-ngepul di sekitar warung itu. Aku sudah tidak tahan menunggu lebih lama lagi, tetapi pengunjung berjubel membuat kami harus bersabar. Ini benar-benar siksaan. Para pelanggan jarang cuma memesan satu mangkuk saja. Konon salah satu penyebab sedapnya coto Daeng Sangkala ialah di samping periuknya terbuat dari tanah liat, juga kayu bakar yang dipakai memasak dari kayu bangko atau sejenis kayu dari pohon bakau mangrove, yang keras dan berminyak.

Aku menahan air liurku demi melihat mereka yang sejak tadi menyantap coto belum kelar-kelar juga. Keringat mereka mengalir deras membasahi wajah dan pakaiannya. Barulah setelah ada yang beranjak dari tempat duduknya kami diminta untuk  duduk.

Ayah memesan daging dan babat yang dalam istilah bahasa Makassar disebut handu. Dan aku, seperti biasa memesan daging campur. Akhirnya, mangkuk berukuran sedang berisi coto yang mengepul-ngepul dengan aroma khas terhidang di hadapan kami. Segera kuperaskan irisan jeruk nipis dan kuaduk dengan tai ciung atau sambal penyedap yang terbuat dari ampas kedelai. Selera makanku tambah meninggi. Kusendok kuahnya, ah…..nyamanna, Karaeng!

***

Hampir semua warung coto di Kota Makassar pada tahun 70an menyajikan tai ciung sebagai sambal penyedap. Selain itu, para penjaja ubi goreng juga menggunakannya. Kebanyakan tai ciung difermentasi untuk dijadikan kecap. Jadi, sebelum jadi kecap atau setengah matang, saat itulah yang paling tepat untuk mengambil kedelai dan dijadikan sambal. Di warung nenek Raba’ di simpang Jalan Kalimantan dan Jalan Seram (saat ini Jalan Tentara Pelajar) juga menyediakan tai ciung sebagai perasa masakannya. Meski di pasar-pasar banyak diperjualbelikan sudah berbentuk padat yang dibungkus dengan daun pisang, nenek Raba’ memilih tai ciung langsung dari pabrik kecap Teratai, sebuah pabrik tradisional milik Baba Hong. Ayah tahu Baba Hong selalu menjaga kualitas buatannya. Salah satu warung yang masyhur pada tahun-tahun itu adalah warung yang ada di Jalan Bulo Gading.

Suatu hari, nenek Raba memintaku menemaninya ke pabrik kecap Teratai yang terletak di bilangan Jalan Seram antara Jalan Barrang Lompo dan Jalan Barrang Caddi. Sang pemilik, Baba Hong kerap pula kami sapa dengan panggilan toke, sebuah panggilan umum untuk laki-laki etnis Cina yang berumur dewasa.

Nenek mengetuk pintu berukuran sangat lebar yang menyerupai pintu gerbang. Seorang lelaki bertubuh tinggi besar membukanya dengan pandangan yang awas. Nenek Raba’ langsung menyapanya dengan suara yang lembut, “Baba, lammallia tai ciung. Saya mau beli tai ciung.

Baba Hong mempersilakan kami masuk. Di balik pintu dan pagar yang tinggi dan panjang itu ternyata terdapat puluhan gentong yang terbuat dari kayu dijejer rapi. Di gentong-gentong kayu itulah, Baba Hong melakukan fermentasi kedelai untuk dijadikan kecap. Baba Hong membuka tong dan langsung mengisi rantang yang disodorkan nenek Raba’. Setelah nenek Raba’ membayarnya kami pun beranjak meninggalkan kediaman Baba Hong. Dengan ekspresi yang sangat datar, ia mengantar kami hingga ke pintu.

Di lain waktu, ayahku sedang asyik menikmati sore setelah salat asar ia tunaikan. Ia menikmati kopi hitam yang kali ini tidak dipasangkannya dengan rokok. Daeng Naim datang membawa sebungkus ubi goreng bersama sambal tai ciung. “Beli di mana ubi goreng?” seru ayahku pada Daeng Naim. Daeng Naim spontan menjawab, “Dari Bulo Gading. Tadi saya melintas di Jalan Pasar Ikan dekat Pantai Losari dan mampir sejenak menikmati ubi bulo gading. Setelah itu, saya minta dibungkus satu porsi dan saya bawa ke sini,” ujar Daeng Naim. Aku tersenyum girang dan langsung menyantapnya. Jarang aku menikmati ubi bulo gading ini. Di samping jaraknya yang cukup jauh dari kediamanku, juga harganya belum terjangkau olehku yang masih kanak berumur sekolah dasar. Daeng Naim tersenyum melihatku lahap.

“Terima kasih, Daeng,” ucapku setengah berteriak pada Daeng Naim.

“Iye, Ndi’, sama-sama,” ujarnya lembut.

Assipa’ji tai ciungna. Enak tai ciungnya kan?” seru Daeng Naim lagi, sembari tergelak bersama.

  • Bagikan