Entah Caci-maki Ini Untuk Siapa
Aku kehilangan kalimat pertama sebelum sempat menjadi paragraf pada apa-apa yang akan kutuang tentang sebuah kisah. Teguhku terlalu rapuh di hadapan genangan yang telah hujan beri setelah reda, pada apa-apa yang bergerak dengan masing masing pemantiknya kutulis kata “entah” sebagai kata paling intim dalam kisah ini.
Bayang hingga peluk, sebab temu. Cakap telah angan di kamar 1816 pada sebuah hotel di tepi pantai, lalu kata setia lebih dulu diucapkan sebelum bayang jatuh dalam dekapan dan diterangi pagi. Lalu menjadikan percaya sebagai iman di antara kita yang insan. Hingga bayangmu selalu mengisi kepala pada wujud yang berjauhan. Sembari membatin, kuharap bersetialah.
Pertemuan kita begitu sederhana, kau tersenyum saat membalasku saat tersesat di tengah keramaian seolah menyapaku dari kerumunan manusia-manusia berisik. Dari saat kau melempar senyum, aku tahu duniaku akan dilanda kekacauan. Sebab dari situlah aku merasa ada tumor ganas di kepala ini, yah tentangmu adalah tumor itu, rasa-rasanya aku selalu butuh kopi sebagai vaksinasi penenang terhadap semua itu.
Di pagi buta aku terbangun lebih awal mendahului mentari di ufuk Timur. Aku menyaksikan anak nelayan menyelami air laut yang keruh tanpa dendam, begitu gembira. Mungkin orang tua mereka tidak menuntut untuk menghafal nama-nama penulis maupun nama penemu yang tercatat oleh dunia.
Mereka hanya dituntut menemani orang tua di pagi buta menjala ikan di tengah laut lalu kembali menjelang malam demi seutas nafkah untuk makan setiap harinya. Karena itu, waktu belajar bahkan mereka tidak punya sebab hari begitu melelahkan dan malam adalah istirahat yang panjang. Maka bersyukurlah kalian yang masih sempat menyeruput teh hangat di gedung-gedung mewah.
Temu, lalu akrab, berpisah lalu hilang, bahkan berakhir tanpa kabar. Beberapa orang mungkin khawatir tentang persoalan itu, termasuk aku. Hingga mengutuk temu sebagai dalang dari semuanya. Dan pada kenyataan hari begitu cepat berganti, sementara kata entah masih begitu nyata di kepala. Tiba di penghujung, sebagaimanapun pertemuan begitupula perpisahan akan mengintai, tidak ada yang kebetulan di dunia ini, semua terjadi sebab ada kesempatan dan kemampuan untuk mengambil atau menjejaki.
Bagi beberapa orang mungkin akan menyesalkan pertemuan dan beberapa lainnya akan megutuk perpisahan sebab kehilangan telah menadah. Tapi bagiku temu, pisah dan berakhir kehilangan hanya terjadi pada mereka yang mengukur jarak sebab tidak menghubungkannya dengan kata-kata. Pagi kembali pada porosnya dan kita telah di hadapan meja yang sama, menikmati sarapan yang semalam kita obrolkan sebelum tidur, melelahkan. “Setelah sarapan berakhir, rindu kembali mengawali kariernya, sejak sepasang pecinta beriman pada jarak” kata Arrumy.
Di sebuah kesempatan, kita kembali bertemu pada sebuah kegiatan, sejenis perlombaan. Kau minta tanggapan terhadap kegiatan tersebut dengan bisikan yang sopan di telinga kiri. Kujawab, bahwa setiap orang adalah pemenang, pemenang atas diri sendiri dan apa yang diwakili. Tiba di titik tertentu adalah hasil perlawanan dari kata “bahwa saya tidak bisa” dan belum mendapatkan hadiah adalah kemenangan yang tertunda, sebagaimanapun peserta telah berjuang sebaik-baiknya dan sehormat- hormatnya, selebihnya juri yang punya kendali.
Pada senja yang begitu teduh menghamparkan jingganya, hari kemerdekaan kembali menada cahayanya, aparatur Negara merayakan dengan upacara penghormatan sementara itu beberapa merayakannya dengan diskusi bersama dan beberapa lainnya merefleksi dengan bincang kecil bersama kekasih di hadapan jingga yang sebentar lagi akan tengenggelam di cakrawala. Seolah merayakan HUT RI KE-76, ironi. Merdeka di atas 27 juta “perut lapar, di antara itu tersemat banyak persoalan di bumi pertiwi.
Kemiskinana melanda, juga pendidikan yang belum merata, perampasan lahan, eksploitasi, sawah yang tak lagi digarap sebab tak teraliri air karena pemanasan gelobal, hingga seorang lelaki yang masih mendikte perempuan agar hidup sesuai apa yang di kepalanya dan masih banyak persoalan lainnya. Hingga merdeka seolah munafik kuucapkan. Sial! Kesimpulan diskusi sepasang kekasih di sore yang senja itu.
Selang beberapa hari pasca perayaan, penyakit seorang ibu kembali kambuh, seorang perempuan yang ditugaskan oleh Tuhan melahirkan seorang anak yang hidupnya masih sangat jauh dari kata baik. Ia adalah Ibuku, sementara diriku yang masih belum apa-apa di hadapan semesta, bahkan mungkin di kepala beberapa orang hanya seonggok sampah yang menolak membusuk. Di hadapan itu semua, semoga doa kesembuhan menghampirinya, lalu pulih dan bisa tersenyum kembali bersama keluarga kecil ini.
Aku telah berupaya setegar mungkin menyangga air jatuh di kelopak mata sebab suatu hal. Sementara itu langit begitu deras mengucurkan kesedihan hingga tumpah ruah di bagian belahan bumi, lalu beberapa jam kemudian menyisakan genangan dimana-mana. Sebagaimanapun, beberapa kesedihan mesti ditanggung sendirian, dan pojok gelap, sepi, tenang dan sunyi menantimu bersujud, bersandar dan bercurah. Hingga menemukan, bahwa doa adalah satu-satunya kekuatan yang masih tersisa.
Bahwa bukan kematian yang menakutkan, tapi menua, menyebalkan dan langkah baik yang tidak lagi kau upayakan di sisa waktumu hidup di bumi. Di saat terjadi keterpurukan orang-orang memilih abai dan hanya menyaksikanmu bersedih sejadi-jadinya. Giliran tenangnya memeluk sang kekasih dengan sebotol minuman keras di genggaman.
Orang-orang sibuk mencaci, memaki, menghina, menganggap kotor dan sebagainya. Membingungkan, sejak kapan standar moralitas seseorang dilekatkan pada peluk juga pada sebotol bir di genggaman, hingga dicampuri pada ranah privat semacam ini, menyedihkan dan menjengkelkan. Entah pikiranku yang berengsek dan sempit ataukah orang-orang yang gagal melihat persoalan dengan lebih luas.
Aku kira cinta adalah karunia yang diberikan Tuhan, tapi beberapa orang menolak untuk memperjuangkan dan bukankah segala hal bisa dikompromikan? Terkecuali kematian. Jika saja Tuhan, segala doa yang kuminta, barangkali telah lebih dulu kulantungkan doa kematian kepada mereka yang mengabaikan cinta yang karunia itu. Kata-kata telah lebih dulu diucapkan sebelum diberi pikiran lalu mereka berakhir sebagai pecundang sebab tak mampu berpijak pada apa yang mereka ucapkan.
Begitu tulus air mata yang kau tumpahkan. Aku sedih dan berupaya menada agar tak tumpah juga. Mungkinkah yang kau tangisi cinta kita berdua yang kau tolak sepasang, ataukah yang kau tangisi adalah aku yang menyedihkan sebab tidak berdaya dihadapan itu semua. Kembalilah pada kenyataan. Tidak ada sesuatau berjalan sesuia dengan kenyataan di dunia ini.
Semakin lama kau hidup, maka semakin kau menyadari banyak rasa sakit, penderitaan dan kegagalan di dunia ini. “Di manapun ada cahaya di situ pula ada bayangan. Selama masih ada pemenang, maka orang yang dikalahkan juga akan ada. Keegoisan seseorang yang menginginkan cinta dan perdamainlah yang menyebabkan perang. Kebencian terlahir untuk melindungi cinta. Dan mereka semua saling berhubungan, membuat hubungan tidak dapat dipisahkan” -Madara.
Gubahan : Sofyan