Berdiri di bantaran kanal, membuatnya larut dalam kenangan. Di tempat inilah ia pernah diberi gelar “panglima”. Gelar kehormatan itu ia sandang atas kepercayaan teman-temannya sekampung. Penghargaan karena ia berhasil memadu keberanian, kecerdikan mengatur siasat dan kepemimpinan, untuk mempecundangi lawan-lawan kelahinya.
Dulu, di sekitar tempat itu, pada saat perang kelompok terjadi. Ia yang selalu berdiri paling depan. Tak percuma ia menyandang nama. Sebut saja namanya, I Bantang Daeng Barani pemberian ayahnya yang juga jagoan kampung. Secara turun-temurun keluarga mereka memang selalu disegani karena menjaga martabat dengan keberanian.
Berbekal senjata papporo yang dibelinya dari daerah konflik Padang Sappa, ketangguhannya menjadi-jadi. Tidak gampang lawan-lawannya melukai dirinya, menyentuh apalagi. Termasuk tidak gampang ia disergap oleh polisi. Keberanian yang berpadu dengan ketangguhan dan kecerdikan yang dimilikinya adalah modal kuat dalam persaingan perang kelompok di kampungnya. Bantang kemudian tampil mewarisi sosok anggota pasukan komando ala Arnold Schwazeneger yang aktor Hollywood itu.
Perang kelompok, memang sudah menjadi kebiasaan buruk anak-anak muda sebayanya. Ya, sejak kanal besar dibangun itulah awalnya. Pemisahan kampung Karuwisi itu menjadi dua meningkatkan persaingan antar anak muda di kampung itu.
Kalau dulu mereka pernah satu tim dalam kesebelasan sepak bola antarkampung, selanjutnya mereka berhadapan sebagai lawan. Kalau dulu mereka sama berjoget saban nonton orkes dangdut, selanjutnya mereka saling janjang saat berpapasan. Kalau dulu sama-sama riang ma’reja-reja minum ballo di bawah pohon jambu, selanjutnya saling ejek tiap bertemu. Pokoknya pemisahan itu, menguak bisul sosial yang tersembunyi jauh di perut perkampungan kumuh itu.
Letupan-letupan kecil, semula biasa-biasa saja, hanya bara yang segera padam. Tetapi lama kelamaan, bara menjadi nyala dan api nyala kian menjerang nyali. Selanjutnya menjadi panas berdarah-darah. Menyuburkan dendam.
Di sisi luar, tepi jalan wilayah kampung Karuwisi memang sudah berubah drastis. Nafas metropolitan gegas berembus. Bangunan-bangunan ruko lomba menjulang. Lampu-lampu merkuri menjadi penerang jalan dan toko-toko menjajakan kemewahan.
Tetapi di sisi dalam, jadi menakutkan. Pada malam hari beberapa saat setelah matahari pergi, gelita menyelimuti. Rumah-rumah kumuh yang sempit, nyamuk yang menggigit, tikus-tikus liar jadi lingkungan sehari-hari. Lampu-lampur merkuri yang dulu pernah menyinari sisi bantaran kanal, satu demi satu kena sambit. Pecah dan tak diganti.
Dalam gelita malam itulah, kerawanan “perang” dan saling serang berlangsung. Sudah sering jatuh korban. Terluka hingga mati. Sebab perang kali ini tentu tidak lagi seperti dulu, masa kanak-kanak dengan kuda-kudaan dari pelepah pisang atau kelewang dari potongan bilah bambu tetapi dengan busur dan anak panah yang berkail tajam dilumuri racun baterai.
Pertokoan yang terbuka memang secara tajam membuka lapangan kerja, tetapi ratusan anak-anak remaja dan pemuda miskin yang selama ini bermukim di perkampungan, hanya satu dua yang terserap, selebihnya menjadi penonton yang bercermin di jendela-jendela etalase.
Bagi yang terserap bekerja, pelan-pelan ikut memacu penampilan jadi trendi. Tetapi itu, sekaligus memicu kecemburuan yang berujung pada frustasi yang tak terucapkan.
Dan I Bantang Daeng Barani adalah salah satu produk kesenjangan sosial yang terjadi. Ia anak muda, sebagaimana puluhan lainnya terhimpit di antara berbagai persoalan sosial di kampungnya. Menyandang keputusasaan, keirian yang berselimut frustasi. Makanya I Bantang mencoba menampilkan dirinya pada sisi lain, sebagai panglima yang bisa mengukuhkan kelompoknya laksana pemenang perang.
***
Begitulah, Bantang Daeng Barani. Ia terus mencatat reputasi tanpa tanding. Menggusur lawan-lawannya dengan busur. Siapa yang menghadang pasti dia tendang.
Guna membiayai perangnya memang ia butuh dana. Tetapi itu bukan masalah. Segala kebutuhan-kebutuhannya dapat terpenuhi dari “pajak keamanan” yang dikumpulkan anak buahnya dari toko-toko di wilayah kekuasaannya. Dana yang terkumpul pun cukup banyak. Tidak saja untuk membiayai pengadaan peralatan perang, tetapi hingga anggaran belanja pemacu nyali, seperti alkohol, narkoba, dan shabu-shabu. Bahkan masih cukup banyak lagi tersisa guna memoles gaya.
Tampillah Bantang Daeng Barani dengan gaya pemuda Bronx. Rambut blonde disisir meranggas mode jabrik. Celana jeans lentur berbahan karet, jaket kulit hitam lengkap dengan sepatu sport yang antislip. Pokoknya penampilannya sebagai panglima kian hari-kian oke.
Pekerjaannya sebagai tukang batu, yang dulu membentuk otot-ototnya seperti binaragawan, telah lama ia kubur. Ia sudah bisa hidup lebih nyaman dengan predikat yang disandangnya. Panglima. Tinggal waspada dan menjaga stamina tentu juga wibawa.
Perubahan-perubahan itu, membuat I Bantang memiliki daya pesona yang luar biasa. Tubuhnya yang atletis dan gayanya yang trendys membuat ia bukan saja idola anak-anak lelaki remaja, tetapi juga menjadi pujaan gadis-gadis di sekitarnya. Apalagi, ia sesekali meniru kedermawanan Robin Hood atau I Tolok yang membagi-bagi rezeki.
Namun ada satu gadis yang mampu melumpuhkan hatinya. Namanya I Bunga. Pada I Bunga, I Bantang takluk, sepenuhnya tunduk. Pada I Bunga ia mabuk. Hanya pada I Bunga, I Bantang runduk.
***
Pada suatu hari, di ambang sore yang sangat romantis. I Bantang dan I Bunga memadu kasih di tepi pantai Losari. Mereka memandang laut lepas dan burung-burung walet yang berkejaran usai gerimis. Anging Mammiri yang bertiup sepoi-sepoi membelai hati keduanya.
“Kapan kita kawin, Daeng,” desak I Bunga dalam pelukan.
“Segera, Bunga.”
“Waktunya?”
“Secepatnya”
“Kapan, Daeng?”
“Kalau proyekku latto’.”
“Proyek apa?”
“Kau tunggu saja.”
I Bunga merajuk. Dan hati I Bantang jadi ciut. Lagu dangdut sayup-sayup mengalun lembut menjadi latar mendayu.
“Daeng selalu berjanji, Daeng juga selalu mengingkari,” keluh I Bunga meniru lirik lagu dangdut, dari radio transistor pedagang kaki lima di seberang jalan.
“Tetapi kali ini pasti, Bunga.”
“Sudah berkali-kali, Daeng bilang pasti.”
I Bunga memang telah diayun oleh kebimbangan atas mimpi-mimpinya tentang pernikahan. Apalagi sejak I Bunga menyerahkan madu kepada sang kumbang jantan. Ia tak ingin madu yang ia beri menjadi sia-sia dalam gelombang ketidakpastian. Seperti ketidakpastian nelayan di atas biduk mencari ikan di pantai Losari.
Meskipun I Bunga sudah putus sekolah, tetapi logikanya masih jalan. Pengalaman mengajarkannya untuk membuka mata, bagaimana gadis-gadis di kampungnya, banyak yang menjadi tulolobangko –tidak kawin-kawin, karena tidak punya nyali mengungkapkan tuntutannya pada lelaki pujaan hati mereka. Dan pihak perempuan yang selalu dirugikan setiap kali telah memberi pengorbanan jiwa dan raga.
Mimpi perkawinan dalam benak I Bunga adalah miniatur dari gambaran film India yang rutin ditontonnya di televisi. Sedikit lebih sederhana. Minimal ada tenda biru, upacara passili dan korontigi dengan sarung berlapis tujuh yang dihadiri sanak famili. Lebih menyenangkan lagi jika ada papui’-pui’ lengkap dengan paganrangna. Andai tidak ada, musik tanjidor dan orkes dangdut juga lumayan.
“Bunga, jangan merajuk begitu. Kamu kan tahu. Begini-begini aku juga lelaki Bugis-Makassar. Janjiku adalah to’do’puliku. Aku juga merindukan pernikahan kita seperti layaknya perkawinan keluarga Bugis-Makassar. Tetapi itu berarti uang yang mengalir tidak sedikit. Kita jangan hanya memikirkan hilirnya tanpa memperhatikan hulunya.”
“Maksud, Daeng?”
“Maksudku, aku juga ingin menjadikanmu pengantin dengan upacara adat yang utuh.”
“Kapan itu, Daeng?”
“Segera setelah segalanya siap.”
“Janji?”
“Kalau proyekku itu berjalan sesuai rencanaku, Bunga, maka aku akan menghentikan semua pekerjaan yang tercela selama ini,” I Bantang berhenti sejenak lalu dihelanya nafas dalam-dalam, “Bunga, kita akan menikah. Bersama rumah tangga yang kita impikan.”
***
Janji adalah utang. Bagi seorang lelaki Bugis-Makassar, janji adalah harga diri. Menepati janji adalah menegakkan harga diri. Mengingkari janji adalah aib tiada terperi. Bukan hanya bagi pribadi, tetapi juga bagi sanak famili.
Jika sudah berjanji, maka eja tongpi na doang, apapun yang akan terjadi harus dihadapi. Apapun risikonya, kalau sudah diucapkan harus ditanggungkan. Sebab setiap pilihan selalu mengandung risiko. Masalahnya hanya seperti apa risiko itu?
Sudah bulat tekad I Bantang. Ia akan menepati janji. Tidak saja bagi si buah hati, tetapi juga janji bagi dirinya sendiri untuk segera mengakhiri jalan hitamnya.
Begitulah I Bantang kembali berdiri di bantaran kanal, tempat yang memberinya banyak kenangan. Kenang-kenangan beberapa waktu lalu, saat diberi gelar “panglima” yang kini mengambang kembali dalam angannya.
Dirogohnya saku jaket kulit sempit yang dikenakannya, sambil memastikan apakah persiapannya sudah sesuai dengan yang direncanakan. Setelah merasa yakin, ia lalu menyulut sebatang rokok dan mengisapnya dalam-dalam. Hatinya perlahan-lahan berbisik, hari ini aku mengalami rasa takut luar biasa. Rasa takut yang menggerogoti keberanianku secara perlahan-lahan. Belum pernah aku merasa takut seperti ini.
Ia kembali membuka kepalan tangannya. Lalu menggenggam kembali, seperti menakar akar keberaniannya. Tangannya sedikit gemetar, itu pengaruh narkoba yang beberapa saat lalu dipakainya untuk memicu keberanian. Ya, apa boleh buat. Ketakutan ini harus aku jinakkan sendiri. Hari ini, hari terakhir aku menjadi seorang pengedar. Kalau latto’ cukuplah untuk selama-lamanya, untuk mewujudkan janjiku pada I Bunga. Janji seorang panglima.
Ketika malam menyungkup bantaran kanal. I Bantang di dalamnya. Deru motor trail, terdengar menyongsong ke arahnya. Entah siapa yang datang, calon pemakai, ataukah polisi. Ada yang kelahi dalam gelap itu.