Indonesia merupakan negara kaya akan kearifan lokalyang tersebar dari Sumatra hingga Papua. Kearifan lokal tersebut telah menuntun masyarakat untuk menjalani dan bertahan dalam kehidupan. Kearifan lokal yang dimiliki Indonesia beragam, mulai dari kearifan lokal bidang bahasa dan sastra Indonesia, bidang kehidupan komunitas, bidang pertanian dan peternakan, bidang kuliner, bidang ekonomi, hingga bidang pariwisata. Meski demikian, masih banyak kearifan lokal yang belum sempat tergali atau dikenali oleh masyarakat Indonesia, terutama generasi muda penerus bangsa.
Bunga Rampai Kearifan Lokal Indonesia
Melalui buku berjudul Bumiku Indonesia: Bunga Rampai Kearifan Lokal, para penulis mencoba untuk memperkenalkan beragam kearifan lokal yang tersebar di seluruh Indonesia. Buku ini merupakan salah satu karya terpilih dalam Program Akuisisi Pengetahuan Lokal LIPI Press 2020. Adapun topik-topik yang disajikan beragam, dan terbagi ke dalam lima belas bab yang ditulis oleh dosen-dosen dari berbagai universitas dalam negeri.
Bab I merupakan pengantar tentang kearifan lokal Indonesia yang ditulis oleh Retno Widyani. Bab II dan III membahas tentang kearifan lokal di bidang bahasa dan sastra. Pada Bab II, Nurhayati Harahap memperkenalkan pembaca dengan kearifan lokal bidang bahasa yang dimiliki masyarakat Angkola Mandailing di Sumatra Utara, yaitu hata-hata jampi (kata-kata jampi untuk tujuan pengobatan), ende ungut-ungut (puisi untuk mengungkapkan perasaan), kuling-kuling anca (permainan teka-teki untuk mengasah kecerdasan), dan ende bue-bue (nyanyian mengayun anak). Sementara itu, kearifan lokal bidang sastra ditulis oleh Zuyasna pada Bab III, yakni legenda Putri Pukes di Aceh. Legenda ini merupakan kisah cinta Putri Pukes dan Pangeran Mude Suara yang berakhir tragis karena tidak mengindahkan pesan orangtua sebelum bepergian. Hikmah yang dapat dipetik dari legenda ini adalah amanat atau pesan orangtua harus dipatuhi.
Bab IV, V dan VI memaparkan tentang kearifan lokal komunitas masyarakat, khususnya komunitas adat suku Baduy, suku Dayak, dan komunitas orang Jawa di Makassar. Pada Bab IV, Nia Kania Kurniawati membahas tentang komunitas adat suku Baduy di Banten. Pembahasannya mulai dari pola hidup komunitas Baduy Dalam yang tidak mengenal alat elektronik dan teknologi modern lainnya, sumber mata pencaharian dan dinamika ekonomi masyarakat Baduy, hingga kegiatan perempuan komunitas Baduy.
Pada Bab V, Enih Rosamah dkk. memperkenalkan pembaca pada kearifan lokal komunitas adat suku Dayak di Kalimantan Timur, berupa penggunaan pewarna alami yang berasal dari tumbuhan kesumba keling/annatto (Bixa orellana L.) pada tenun Ulap Doyo. Sayangnya, pengetahuan tentang tumbuhan sebagai bahan pewarna alami serta pembuatan barang seni dan kerajinan sudah mulai dilupakan sebagian masyarakat suku Dayak, khususnya generasi muda. Enih Rosamah dkk. menyarankan perlunya dukungan dan kebijakan pemerintah daerah untuk melestarikan barang seni dan kerajinan tangan komunitas adat suku Dayak tersebut.
Pada Bab VI, Firman Menne mengajak pembaca untuk melihat komunitas perantau Jawa di Makassar, Sulawesi Selatan. Jumlah orang Jawa yang berdomisili di Makassar cukup banyak. Mereka juga memiliki hubungan emosional dengan orang Makassar, setidaknya dalam beberapa hal yang terlihat dalam penggunaan istilah Jawa pada nama makanan, tempat, bahkan penyakit. Meski orang Jawa dikenal dengan nilai-nilai budaya Islam yang kental, perantau Jawa di Makassar tidak sepenuhnya menerapkan nilai-nilai spiritual tersebut. Orang Jawa yang bermigrasi ke Makassar umumnya adalah karena alasan ekonomi sehingga mereka tidak memiliki waktu untuk memperkenalkan dan mempraktikkan budaya-budaya Jawa sebagaimana mestinya.
Kearifan lokal bidang pertanian dan peternakan dibahas oleh Farida Iriani pada Bab VII dan Andoyo dkk. pada Bab VIII. Farida Iriani membahas tentang dampak pembangunan ruas jalan tol trans-Jawa terhadap usaha tani masyarakat Pendhalungan di Pasuruan, Jawa Timur. Masyarakat Pendhalungan merupakan sebutan bagi masyarakat yang mengalami akulturasi Jawa-Madura. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa hampir 80% masyarakat Pendhalungan yang menetap di Pasuruan masih tertarik dengan usaha pertanian dan perkebunan meski harus menyesuaikan dengan perubahan yang diakibatkan oleh pembangunan ruas jalan tol. Peluang dan potensi dari adanya jalan tol membuat masyarakat menanam berbagai komoditas tanaman, seperti mangga, apel, durian; konservasi vegetasi tembakau; dan vegetasi penyedia udara bersih, seperti jati putih, asam jawa, dan kemiri.
Selanjutnya, pembaca kemudian diajak untuk melihat kegiatan peternakan masyarakat di Manokwari, Papua Barat oleh Andoyo dkk. Para petani di daerah transmigrasi Manokwari umumnya memiliki usaha sambilan sebagai peternak sapi. Pola pemeliharaan sapi yang tidak memadai menyebabkan pencemaran oleh limbah kotoran sapi (feses), apalagi feses belum dimanfaatkan secara optimal oleh petani. Feses sapi tersebut sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik dan sumber energi biogas. Sosialisasi dan instalasi unit biogas sudah dilakukan, tetapi jumlah unit yang tersedia masih belum seimbang dengan anggota kelompok tani yang ada.
Bab IX dan X membahas tentang kearifan lokal kuliner. Pada Bab IX, Rita Ismawati membahas tentang kuliner tradisional khas Lamongan, seperti nasi boranan, soto Lamongan, tahu campur Lamongan, wingko babad, dan lain-lain. Kuliner tradisional memiliki keunggulan daripada kuliner impor karena sudah cocok dengan lidah orang Indonesia. Pada Bab X, Nur Hidayat menulis tentang kuliner hasil fermentasi mikrobiologis, seperti nata de coco yang merupakan fermentasi bakteri dari selulosa dan jamur sebagai mikroorganisme yang nikmat untuk dimakan.
Berikutnya, Bab XI dan XII membahas tentang kearifan lokal di bidang ekonomi. Nur Sayidah membahas tentang konsep dan praktik akuntansi dalam Islam pada Bab XI. Prinsip-prinsip akuntansi telah diatur dalam Q.S Al-Baqarah ayat 282–283. Sementara itu, pada Bab XII, Wahyono dkk. membahas tentang suksesi kepemimpinan bisnis masyarakat Pendhalungan, khususnya terkait bisnis keluarga berupa Perusahaan Otobus (PO) Akas. Pola suksesi kepemimpinan PO Akas merupakan suksesi internal dalam keluarga, yakni diwariskan dari orangtua ke anak-anaknya.
Kearifan lokal bidang pariwisata ditulis oleh Mochamad Ilham pada Bab XIII dan Husna pada Bab XIV. Mochamad Ilham membahas tentang pariwisata berbasis kebudayaan Pendhalungan seperti pariwisata di Kabupaten Banyuwangi dan Jember. Sementara pada Bab XIV, Husna memaparkan tentang strategi bisnis valuable, rare, imperfectly imitable, dan non-substitutable (VRIN) yang digunakan oleh cagar alam Morowali dan teluk Tomori di Sulawesi Tenggara. Menurut Husna, strategi VRIN merupakan aspek fundamental dalam mewujudkan bisnis pariwisata yang sukses. Bunga rampai ini kemudian ditutup dengan Bab XV yang ditulis oleh Asep Mahfupz dan Dadang Sundawa yang membahas tentang kearifan lokal di tengah perubahan sosial budaya yang terjadi di Indonesia.
Melestarikan Kearifan Lokal di Masa Kini
Setelah membaca bunga rampai ini, pembaca dapat lebih mengenal dan memahami beberapa kearifan lokal yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Pembahasan kearifan lokal memang diperlukan untuk menjaga kelestarian dari kearifan lokal tersebut. Adanya perubahan dalam berbagai aspek, seperti sosial, budaya, teknologi, ekonomi, dan aspek lainnya dikhawatirkan dapat merusak nilai kearifan lokal yang ada dan berkembang di komunitas masyarakat. Contohnya, kemajuan di bidang teknologi seperti yang terjadi saat ini. Kemajuan teknologi yang hadir membuat kearifan lokal tersebut perlahan-lahan ditinggalkan oleh generasi muda.
Perubahan yang terjadi di masyarakat sebenarnya merupakan fenomena yang wajar dan dapat terjadi di mana saja, baik dengan cepat ataupun lambat. Untuk mempertahankan kearifan lokal di tengah perubahan yang terjadi, diperlukan upaya-upaya untuk memperkenalkan kearifan lokal kepada generasi muda. Apalagi, generasi muda saat ini lebih mudah terpengaruh oleh kebudayaan dari luar daripada mempraktikkan nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang di masyarakat.
Buku bunga rampai tentang kearifan lokal Indonesia ini merupakan salah satu upaya untuk memperkenalkan kearifan lokal berbagai daerah di Indonesia, khususnya kepada generasi muda. Pembahasan mendalam yang dikemas secara ringkas dengan topik yang beragam dapat membuat khazanah keilmuan pembaca semakin berkembang. Meski demikian, terdapat hal yang masih perlu diperhatikan, seperti banyaknya pembahasan yang berfokus pada kearifan lokal masyarakat Jawa, khususnya masyarakat Pendhalungan. Akan menjadi lebih baik jika proporsi pembahasan dari daerah lain di luar Jawa juga ditambah agar didapat keluasanpemahaman pembaca tentang kearifan lokal yang tersebar dari Sumatra hingga Papua.