Catatan Horor, Guru Honor

  • Bagikan
Sumber: cikimm.com

Ada profesi yang sepertinya main-main. Berjingkrak-jingkrak, berjoget-joget, namun bayarannya selangit. Sebaliknya, ada profesi yang menjalankan amanah undang-undang; mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun dibayar seadanya. Lalu dibilang, itu risiko perjuangan pahlawan tanpa tanda jasa.

Memang sudah ada perbaikan nasib guru. Mereka adalah pahlawan, yang tampaknya mulai diberikan “tanda jasa”. Gaji sudah lumayan, meskipun masih pas-pasan. Beragam tunjangan didapat. Apalagi kalau sudah sertifikasi. Namun itu hanya bisa dirasakan oleh sekitar 1,6 juta guru yang bestatus guru PNS. Sementara 1,7 juta guru honorer, hanya bisa gigit jari. Mereka bergeming. Kalaupun ada yang punya nyali lebih, mereka akan mengeluh di media sosial. Persis yang dilakukan seorang guru honorer di Kabupaten Bone. Mengunggah catatan tentang besaran gaji yang dia terima. Dan seketika, jagad nusantara pun heboh. Sang guru honorer terancam dipecat. Padahal apa yang diunggah adalah fakta. Digaji hanya Rp700.000,00 untuk empat bulan perjuangan.

Gaji Rp700.000,00 untuk empat bulan. Artinya sebulan dapat Rp175.000,00. Berarti sehari hanya Rp5.800,00. Mungkinkah seorang hidup dengan uang Rp5.800,00 sehari? Sulit membayangkan. Namun di negeri “+62” itu mungkin saja. Dan banyak yang begitu. Luar biasa. Bercampur rasa antara kagum dan prihatin. Kagum, ternyata masih ada orang yang bisa hidup super hemat. Prihatin, saat tahu bahwa yang mengalami itu adalah guru honorer. Dengan gaji yang alakadarnya, itupun penerimaannya dirapel, harus berpikir seribu satu cara untuk memajukan kecerdasan bangsa. Juga memutar otak agar asap dapur terus mengepul.

Apalagi di tengah badai Covid-19 hari ini. Jangankan guru honorer, konglomerat saja ada yang melarat. Untuk guru yang ada di kota, bisa leluasa dengan konsep kerja yang baru; WFH. Tapi bagaimana dengan yang di pedalaman? Titik favorit penempatan guru honorer. Fasilitas yang tidak memadai, kualitas jaringan internet yang buruk, membuat mereka harus tetap belajar tatap muka. Bahkan ada yang rela mendatangi rumah para siswa. Satu ikhtiar yang sungguh mulia, dibayang-bayangi dengan risiko wabah, sayangnya dengan upah dibawah standar.

Ini adalah masalah yang harus segera dituntaskan. Kalaupun belum bisa sempurna, bertahap pun tidak mengapa. Yang jelas ada usaha sistematis yang dilakukan untuk mencerahkan masa depan. Bukan model penyelesaiaan masalah yang bersifat insidental, tiba masa, tiba akal. Ingat, 1,7 juta itu bukan sekadar angka, tapi nyata adanya. Pandanglah 1,7 juta guru honorer itu adalah nikmat karunia Allah. Yang mana jika nikmat itu tidak disyukuri, akan ada azab siap menanti. Boleh jadi, berbagai krisis mutidimensional yang melanda Indonesia disebabkan kita kurang menghargai jasa mereka.

Tidak ada kata terlambat untuk menjadi bangsa yang menghargai guru. Jangan tunggu besok, sekarang waktunya berbenah.

 

Rekrut yang Punya Renjana

Dunia pendidikan adalah dunia pengabdian. Pendidikan tidak pernah maju di tangan guru yang selalu bertanya, “Saya digaji berapa?” Selain kerja keras, harus juga kerja ikhlas. Kalau guru honorer, pasti sudah kenyang dengan pengalaman itu. Kita harus punya sistem yang bisa memastikan bahwa orang-orang yang terekrut adalah mereka yang siap mengabdi.

Menjadi guru, tidak sekadar cerdas. Butuh orang yang memang punya renjana (passion) di bidang pendidikan. Inilah yang dibutuhkan oleh Indonesia, orang cerdas yang punya renjana. Menjadi guru bukan sekadar mencari gaji, tapi ini soal panggilan hati. Kita pasti pernah merasa, ada guru yang untaian kata-katanya semacam hampa. Sepertinya ini adalah guru yang mengajar tanpa renjana. Menjadi guru karena terpaksa.

Dan ada juga guru yang ucapannya penuh energi. Sarat inspirasi. Menghunjam sampai ke hati. Membekaskan kenangan tak terlupa. Guru seperti ini pasti berangkat dari sebuah renjana yang kuat di dunia pendidikan.

 

Bayar, Sebelum Kering Keringatnya

Yakinlah, di negeri kita masih banyak orang baik. Siap memberi tak harap kembali. Orang-orang yang ingin mengabdi tanpa pamrih. Banyak kisah guru honorer di pedalaman Indonesia yang teguh tetap mengajar. Mereka tidak risau soal bayaran. Di sana konsep rejeki dari Allah bekerja nyata. Kalau hitungan manusia, seharusnya dengan gaji ratusan ribu untuk beberapa bulan, pasti kurang. Ternyata Allah punya rencana indah untuk hamba-Nya yang selalu ikhlas. Mungkin inilah yang disebut berkah.

Konsep tentang rejeki dan keikhlasan adalah prinsip pribadi sang guru honorer. Tapi untuk Pemerintah, logika yang dipakai adalah bayar sebelum kering keringatnya. Jangan dikumpul hingga berbulan-bulan, baru dicairkan.

Kita berpijak di atas negara yang teramat kaya. Uang kita banyak sebenarnya. Hanya mungkin salah kelola. Negara kaya seharusnya tidak bermasalah untuk penggajian guru. Kemajuan teknologi hari ini, seharusnya bisa memberikan alternatif penghematan anggaran. Ditambah pandemi Covid-19. Memberikan kita banyak pelajaran berharga, tentang aktivitas yang esensial dan hal yang sebenarnya masih bisa ditawar. Contohnya soal perjalanan dinas para pejabat. Pandemi Covid-19 ini akhirnya membuka semuanya. Untuk kunjungan yang tidak terlalu penting, bisa daring saja.

Tentang seminar, workshop atau apapun namanya, yang sering digelar instansi pemerintah terutama di akhir tahun. Nah, pandemi Covid-19 lagi-lagi memberikan pelajaran. Ternyata ada yang bisa dilakukan daring. Menghimpun banyak peserta dan tentunya dengan anggaran yang jauh lebih kecil.

Andai saja biaya perjalanan dinas bisa dipangkas, lalu kegiatan instansi dilakukan secara daring –jika memungkinkan- pasti banyak anggaran negara yang bisa dihemat. Lalu dialihkan untuk menyejahterakan guru honorer. Maka pasti terbit senyum bahagia.

 

Alih Status, Sebuah Impian

Jamak guru honorer yang minta dialihstatuskan menjadi PNS. Ini permintaan yang wajar. Apalagi yang sudah mengabdi puluhan tahun. Kalau kesetian kepada negara yang jadi ukuran, guru honorer tak diragukan. Bahkan dalam beberapa kasus, kesiapan bela negara guru honorer lebih tinggi daripada guru PNS. Mereka siap siaga mengajar di daerah pedalaman. Sementara guru PNS, belum tentu.

Bila ada penerimaan guru PNS, tentu lebih bijak bila mengutamakan guru honorer. Kalau boleh tidak perlu ada pengangkatan guru PNS baru, sebelum guru honorer berkinerja baik, semuanya beralih status. Dari segi pengalaman mengajar, kesetiaan dan pengabdian, mereka tak sekadar berjanji tapi sudah ada bukti.

Sekarang semuanya ada di tangan Pemerintah. Kalau memang perlu kita minta intervensi langsung Presiden. Ada 1,7 juta nasib anak bangsa yang dipertaruhkan. Ini bukan jumlah yang sedikit, Pak Presiden. Mereka bukan orang sembarang. Mereka adalah guru penentu masa depan.

***

Terbayang indah, tentang Indonesia beberapa tahun ke depan. Menjadi mercusuar pendidikan. Kalaupun terpaksa masih ada guru honorer, mereka tidak dipandang sebelah mata. Curahan jasanya berbanding lurus penghargaan yang didapat. Dan cerita horor tentang guru honor, sempurna menjadi sejarah. Menjadi catatan bahwa kita adalah bangsa yang berhasil bangkit dari keterpurukan.

  • Bagikan