Matahari baru saja bergeser meninggalkan posisi tegak lurus yang menggerus peluh dari kerumunan orang-orang di sebuah kedai kopi di bilangan Jalan Boulevard Makassar. Dalam kerumunan itu, aku bersua dengan kawan lama. Kami tenggelam membincangkan beragam tema. Mulai dari perkembangan Kota Makassar hingga hiruk pikuk politik yang kian hari kian membingungkan masyarakat. Apa yang mereka pertontonkan tidak lebih sebagai opera sabun saja.
Kedai kopi rupanya tidak punya kipas untuk mengatasi hawa panas. Meski demikian, tidak ada satupun yang beranjak dari situ. Mereka asyik dalam perbincangan masing-masing. Mungkin hanya aku yang memilih mengipas tubuhku yang gerah dengan sepotong kertas tebal. Sesekali aku mengelap butir-butir keringat yang luruh di wajahku. Luar biasa magnet tempat ini, aku membatin. Mereka santai saja dalam tawa lepas dari perbincangannya yang mungkin lucu atau sekadar bersama-sama menertawai dirinya dalam kekonyolan-kekonyolan yang kerap terjadi di kehidupan ini. Atau boleh jadi mereka menertawai para monyet yang bernyanyi sumbang di panggung politik kekinian.
Aku larut dengan kawan-kawan yang baru bersua kembali setelah beberapa bulan lalu. Kami membincang tentang beberapa orang yang sesungguhnya begitu masyhur di percaturan politik, namun sebagian besar dari mereka berakhir dalam bui. Namun politik tetaplah politik. Rupanya mereka telah “berkulit badak”. Mereka masih merasa gagah perkasa berjalan di altar kebaikan walau tubuhnya menyemburkan bau amis dari seluruh porinya.
Cukup lama kami berbincang di sebuah sudut di kedai ini. Kami pun bersalaman untuk beranjak dengan keperluan yang berbeda. Suasana gerah sudah mulai surut. Kendaraan kupacu menuju Benteng Somba Opu. Kawasan ini dulunya sangat indah sebab di sana berjejer rumah adat yang merepresentasikan suku dan budaya di Sulawesi Selatan (termasuk Polman, Majene, dan Mamuju, sebelum menjadi Sulawesi Barat).
Profesor Ahmad Amiruddin, mantan rektor Universitas Hasanuddin dan gubernur Sulawesi Selatan, memberi perhatian yang cukup serius untuk menghindari kehancuran benteng ini. Beliau menggagas sebuah kawasan miniatur Sulawesi Selatan dengan membangun rumah adat di sekeliling benteng yang bersejarah itu. Ia melibatkan semua pemerintah kabupaten/kota di Sulsel ketika itu untuk bersama memelihara kelestariannya. Ketika gagasan tersebut terlaksana, kawasan ini tidak hanya menjadi sebuah tempat wisata budaya yang elok, tetapi juga menjadi tempat menggagas ide-ide kebudayaan dan kesenian. Selain itu, dijadikan tempat pelaksanaan berbagai event, baik di tingkat lokal seperti pelatihan peningkatan kapasitas mahasiswa tingkat fakultas, maupun kegiatan internasional.
Mentari tinggal sepenggal di batas cakrawala ketika aku memasuki jembatan di gerbang kawasan tersebut. Jembatan tersebut mengangkangi sungai Jeneberang. Aku sedikit bingung ketika menjejaki kompleks miniatur ini sebab beberapa bangunan telah roboh rata dengan tanah. Salah satu rumah adat yang hendak kusambangi sulit kutemukan. Padahal aku ingin bertemu seorang kawan di situ. Aku berhenti sejenak bertanya pada seorang penjaga kedai. Lelaki tua itu menunjuk jalan ke bagian kiri dari salah satu perempatan. Sesampainya di depan rumah adat yang kutuju, aku tercengang menyaksikan deretan studio para seniman pun telah rata dengan tanah. Kawanku menyambutku dengan senyum sebab menyaksikanku keheranan. “Tiangnya itu dari kayu ulin, sudah dirobohkan semua dan dijual seharga lima juta rupiah per kios oleh pengelola kawasan ini,” ucapnya dengan nada sedikit bergetar.
Di beranda salah satu rumah adat aku berbincang cukup panjang ditemani kopi instan dengan pisang goreng yang masih hangat. Dari bincang-bincang tersebut aku tahu bila kawasan ini akan diserahkan ke investor untuk pengelolaannya.
“Apakah semua rumah adat yang ada di kompleks akan dirobohkan ataukah akan direnovasi kemudian pengelolaannya akan ditanganinya?” tanyaku.
Menggeleng kepala kawanku, isyarat bahwa dia belum tahu persisnya. Beberapa rumah kayu besar milik pemerintah Provinsi Sulsel telah dibongkar.
“Ada yang dijual seharga dua puluh lima juta rupiah per rumah,” ujar termanku. “Rumah-rumah adat yang dibangun oleh pemerintah daerah kabupaten tinggal menunggu nasibnnya. Bupatinya telah disurati.”
Malam cukup larut ketika kutinggalkan kawasan Benteng Somba Opu ini. Puing-puing bangunan yang berserakan mengantar khayalku jauh ke kampung seberang. Dua pekan lalu aku mengunjungi sebuah pameran dalam rangka memperingati hari jadi Provinsi Sulawesi Utara. Acara tersebut dilaksanakan di sebuah kawasan yang mirip dengan kawasan Benteng Somba Opu ini. Berbagai rumah adat dari semua kabupaten/kota di Sulawesi Utara minus benteng bersejarah. Aku berkeliling menyusuri rumah satu ke rumah yang lain. Secara fisik bangunan-bangunannya cukup terpelihara, bahkan beberapa bangunan baru telah ditambahkan untuk mengapresiasi masukan masyarakat.
Program-program berkelanjutan di daerah kadang menjadi hambatan psikologis bagi seorang pemimpin. Sepertinya mereka berlomba membangun sesuatu yang baru walau sesungguhnya tidaklah terlalu penting atau bermanfaat untuk masyarakat luas. Ada pembangunan yang mesti dilanjutkan atau dipelihara oleh pemimpin setelahnya, malah dimusnahkan bukan karena perspektif guna dan manfaat, tetapi hanya karena dia merasa bukan peletak ide awal dan pembangunannya. Jadilah program-program yang berkelanjutan begitu sulit ditemukan di negeri ini.
Benteng Somba Opu dan rumah-rumah adat yang mengelilinginya adalah sebuah ide monumental dari seorang guru besar bersahaja, Prof. Ahmad Amiruddin. Mestinya dipelihara sebagai sebuah aset budaya yang bernilai tinggi. Sebab bila menilik negeri-negeri yang berperadaban tinggi dan maju, semua itu hanya bisa diraih oleh negeri yang para pemimpinnya menghargai pembangunan kebudayaan.